Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.
Tentu saja setiap manusia lahir memiliki sebuah idealisme tersebut, susahnya mempertahankan idealisme ini akan terasa saat atara keinginan kita dan realita yang ada tidak sesuai. Di satu sisi, kita sudah membangun idealisme yang menurut kita adalah yang paling benar, namun disisi lain, kita dipaksa berdamai dengan realita yang ada. Tak jarang banyak orang yang meninggalkan idealisme mereka dan menyerah dengan realita kehidupan. Tapi tak jarang yang berjuang sekuat tenaga hingga berdarah-darah demi mempertahankan idealisme mereka. Jika seperti ini apa yang harus kita lakukan? Mengikuti idealisme atau menyerah dengan realita. Pasti banyak orang menjawab, kenapa tidak kita buat idealisme kita fleksibel dengan realita? Itu adalah jawaban dilematis yang memilih jalan tengah karena terlalu takut mengambil resiko salah satu jawaban, karena pada suatu kondisi, tidak semua idealisme mau menuruti realita, dan tidak semua realita menuruti idealisme. Sehingga jawaban tengah tersebut, seperti mau lari dari kenyataan, tapi dia masih enggan lari dari kenyataan.
Sebagai contoh, Galileo Galilei yang mencoba mempertahankan idealismenya tentang tata surya. Galileo mengatakan “matahari adalah pusat tata surya, bukan bumi sebagai pusat tata surya” dan hal tersebut tertuang dalam karyanya “matahari centris” dan hal tersebut bertentangan dengan keyakinan gereja saat itu yang sesuai dengan alkitabnya mengatakan bahwa “Bumi adalah pusat tata surya, matahari mengelilingi bumi”. Para tokoh agama pun mengkafirkan Galileo, karena menentang ayat dalam kitab suci. Dengan tuduhan kafir, otoritas tertinggi kemudian merasa terganggu dan berkewajiban memanggilnya. Vonis terhadap Galileo dijatuhkan dan ia dikenai hukuman rumah karena dianggap telah mengganggu keimanan umat. Lebih tragis ia di cap pemberontak dan dianggap melecehkan kitab suci dengan membuat tafsir sendiri. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia.
Galileo, menurut pengakuan sejarahwan, memproklamirkan temuannya berdasarkan eksperimentasi yang melelahkan secara saintis, pencarian yang tak kenal henti dan tentu saja melewati berbagai pengamatan seputar fenomena alam secara akurat. Ia menemukan, bahwa bumi tidak ‘tinggal’ diam melainkan terus bergerak berotasi pada porosnya dan berevolusi di sekeliling matahari. Galileo dituding hanya mementingkan rasio belaka, tanpa mengindahkan teks-teks kitab suci tentang teori peredaran bumi dan matahari. Matahari sebagai pusat peredaran bumi. Bukan sebaliknya. Namun para agamawan melihat dengan sisi lain; gereja yang tidak ingin mengakui bahwa akal adalah nikmat terbesar pada diri manusia. Galileo dijebloskan ke kezaliman mahkamah akibat ulah konspirasi buruk gereja. Dengan sadis akhirnya Galileo diseret ke pengadilan dengan tuduhan kafir dan tidak percaya Tuhan. Setelah disiksa mental dan fisiknya, Galileo dipaksa untuk mengakui jika penemuannya itu salah besar.
Tapi apa yang terjadi setelah kematian Galileo Galilei? Benar saja, 200 tahun setelah kematian Galileo (tepatnya pada tahun 1835) gereja Italia menyodorkan keputusan penting yang berisi: “menghapus semua karya Galileo dari daftar buku terlarang, membebaskannya dari segala fitnah yang dituduhkan, menghormati semua inovasi yang merupakan kekayaan berlimpah yang disumbangkan kepada intelektualitas umat manusia, dan menghormati semangat serta kontribusinya untuk kemajuan sains, serta memohon maaf terhadap apa yang terlanjur dikatakan bahwa dirinya atheis dan menentang nilai-nilai keagamaan”. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo. Demikianlah, manusia meminta maaf akan kekeliruan dan kebodohannya sendiri terhadap hak kebebasan berfikir Galileo. Perlahan namun pasti, Galileo kini memperoleh yang diimpikan banyak orang: prioritas, nilai, dan juga penghormatan yang sesungguhnya. Sayangnya, semua didapatkan setelah ia mati.
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh tokoh-tokoh yang tidak mungkin diceritakan satu-satu, yang berdarah-darah mempertahankan idealismenya, bahkan nyawa jadi taruhannya. Tapi ingat juga, tidak sedikit bahkan beribu-ribu manusia, yang bahkan mungkin di sekitar kita, yang kalah dengan realitas dan membuang idealismenya. Kalau menurut pendapat kalian, idealisme itu seharusnya dipertakankan atau dipajang saja? Jika dipertahankan, kalian harus tahu konsekuensinya, jika dipajang saja, kalian juga harus tahu bagaimana memajang idealisme yang baik dan benar di rak berkaca untuk kenangan jika dulu punya idealisme.
Sabtu, 10 September 2016
Idealisme: Dipertahankan atau Dipajang saja?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar